DARI MALAS MENJADI TAAT

Khazanah

Oleh : Syaiful Anwar

 

Syaikh Khalid Bin Sulaiman Ar-Rub‟i dalam bukunya, “Min Ajaib ad-Du‟a (Keajaiban Doa) menuturkan kisahnya berikut ini.

Di salah satu desa terdapat sebuah sekolah yang salah satu gurunya tidak shalat dan jauh dari ajaran agama. Saya pun ditunjuk untuk menjadi guru di sekolah tersebut. Pada waktu istirahat, saya melihat guru tersebut duduk memisahkan diri dari guru lainnya yang juga tampak berusaha menghindarinya. Saya bertanya kepada salah seorang guru,

“Pak, kenapa bapak dan teman-teman menjaga jarak dengan guru tersebut?”

“Kami malas. Dia tidak shalat, maka kami pun enggan bergaul dengannya.”

Saya kemudian berusaha mendekati guru itu, namun ia berusaha menghindar dariku. Setelah pertemuan kedua ia mulai dapat diajak ngobrol. Saya lalu berkata padanya,

“Tuan, saya ditempat ini hanya seorang diri tanpa keluarga dan membutuhkan bantuan tuan. Kiranya tuan berkenan menerima saya untuk tinggal di rumah tuan buat sementara waktu sebelum saya mendapatkan rumah kontrakan sendiri.”

“Tuan, saya adalah orang yang tidak memiliki kebaikan sedikit pun. Bagaimana mungkin engkau tinggal bersamaku?”

“Tidak masalah. Yang penting bagi saya adalah bisa tinggal di rumah tuan.”

“Kalau memang itu permintaanmu, ya bolehlah.”

Singkat cerita, mulailah saya tinggal di rumah guru itu. Saya lakukan apa saya bisa saya lakukan. Saya berusaha memenuhi kebutuhannya, mencucikan pakaiannya, memasak dan membersihkan rumah tanpa mengungkit sedikit pun kelalaiannya dalam melaksanakan shalat.

Pada suatu hari saya berkata padanya bahwa saya akan segera pindah karena telah mendapatkan sebuah rumah kontrakan. Namun ia melarangku pergi karena mengingat bantuan yang aku berikan selama ini.

Suatu ketika setelah makan siang, kami lalu duduk santai sambil minum teh. Tatkala azan shalat Ashar berkumandang, saya segera bangkit dari dudukku dan berkemas untuk menuju ke mesjid. Tak kusangka ia bertanya,

“Tidakkah engkau merasa lelah, 5 kali sehari semalam berangkat ke masjid untuk menunaikan shalat?”

“Tidak sama sekali, saya bahkan merasakan ketentraman jiwa, dan kesejukan kalbu, seakan saya berada di dunia lain selain dunia ini. Tidakkah engkau mau mencobanya?” Kataku

“Okey!” Jawabnya sambil berdiri dan ikut ke mesjid walaupun tanpa wudhu.

Setelah shalat Tahiyatul Masjid, saya lalu duduk di belakangnya, mengangkat kedua tanganku mengadu kepada Allah,

“Ya Rabb, saya telah melakukan banyak hal untuknya sehingga ia pun dapat masuk ke rumah-Mu ini dan menghadap pada-Mu, maka limpahkan hidayah-Mu untuknya. Amin.”

Setelah shalat saya lalu bertanya padanya,

“Apakah engkau merasakan ketenangan dalam hatimu?”

“Ya, kenikmatan yang tidak pernah saya rasakan sebelumnya.”

“Kalau begitu, sebelum shalat Ashar nanti, engkau harus mandi dan berwudhu terlebih dahulu sebelum kita ke mesjid.”

“Baiklah.”

Demikianlah, hidayah Allah datang kepadanya. Ia berubah dari sosok yang malas menunaikan shalat menjadi orang yang sangat taat.

Pada suatu hari saya berkata kepada para guru yang selama ini menjauhinya,

“Cara kalian bergaul dengannya tidak benar. Lihatlah kini, bagaimana hidayah Allah tercurah bagi orang yang dahulu tidak shalat itu melalui pergaulan yang lembut dan penuh kasih.”

Beberapa tahun kemudian orang itu mendapatkan pekerjaan di luar Arab Saudi. Ia pun berangkat ke sana, dan beberapa orang masuk Islam melalui dirinya. Alhamdulillah!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *