Aktivis Muda Indonesia Bangun Gerakan di Hutan Amazon, Siap Guncang COP 30

Matarakyat24.com – Jakarta, 9 Oktober 2025 — Sekitar 80 aktivis muda dari berbagai negara berkumpul di hutan Mato Grosso, Brasil, untuk menyusun strategi menghadapi Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP 30) yang akan digelar di Belem, November mendatang.

Mereka mengikuti pertemuan bertajuk Co-Creation Meeting for The Campaign Alliance of Peoples for The Climate, sebuah konsolidasi internasional yang membahas solidaritas lintas benua dalam memperjuangkan keadilan iklim. Dalam suasana alami di tepi sungai Amazon, para peserta berdiskusi, bertukar ide, dan merancang aksi kreatif yang akan mengguncang forum iklim dunia.

Salah satu peserta dari Indonesia adalah Stanislaus Demokrasi Sandyawan, atau akrab disapa Momo, yang juga menjabat Wakil Direktur Climate Rangers Jakarta. Momo menjadi satu-satunya delegasi dari Asia. Ia menuturkan bahwa atmosfer pertemuan ini begitu hangat dan penuh semangat solidaritas.

Kita bisa belajar banyak dari komunitas Amerika Latin yang sudah sangat matang. Gerakan mereka dipimpin anak muda usia 30-an, tapi langkah mereka untuk memperjuangkan iklim begitu serius,” ujarnya.

Temukan Persamaan Nasib dengan Amerika Latin

Selama pertemuan berlangsung, Momo melihat banyak kesamaan antara perjuangan masyarakat adat di Indonesia dengan masyarakat adat di Brasil dan Amerika Latin. Salah satu yang menarik perhatian Momo adalah keberadaan Kementerian Masyarakat Adat Brasil, yang memiliki kewenangan kuat untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat adat.

Serupa dengan Indonesia, tapi di sana mereka punya kementerian sendiri yang benar-benar fokus memperjuangkan masyarakat adat. Ini menunjukkan keseriusan negara terhadap pelestarian lingkungan,” jelasnya.

Dari berbagai isu yang muncul, para peserta sepakat bahwa pendanaan iklim akan menjadi fokus utama yang akan didorong di COP 30. Pendanaan ini dianggap krusial untuk memastikan program pelestarian alam dan hak masyarakat adat bisa berjalan tanpa bergantung pada birokrasi besar.

Bahas Otonomi Adat dan Kompensasi Sejarah

Diskusi juga melahirkan dua gagasan penting, yakni territorial autonomy (otonomi wilayah adat) dan historical reparation (kompensasi atas ketidakadilan sejarah). Dua istilah ini menjadi pembahasan hangat karena menyangkut kedaulatan masyarakat adat atas tanah mereka sendiri dan tanggung jawab global terhadap sejarah eksploitasi lingkungan.

Isu pendanaan iklim sangat kompleks. Tapi kita sepakat bahwa dana seharusnya mengalir langsung ke komunitas adat, bukan berhenti di tingkat birokrasi,” kata Momo.

Aksi Kreatif di Panggung Dunia

Selain diskusi, pertemuan di hutan Amazon itu juga melahirkan rencana aksi nyata. Para peserta akan menyiapkan berbagai aksi kreatif untuk menarik perhatian media global saat COP 30 berlangsung, termasuk fashion show yang menampilkan pakaian khas dari berbagai wilayah dunia.

Kami ingin merebut ruang publik dengan cara yang positif dan kreatif, agar isu masyarakat adat dan iklim mendapat sorotan lebih besar,” ujar Momo.

Momen di Desa Mupa, Mato Grosso, juga menjadi bersejarah karena dihadiri Chief Raoni Metuktire, pemimpin legendaris masyarakat adat Kayapo yang dikenal sebagai simbol perlawanan terhadap perusakan hutan Amazon.

Kehadiran Chief Raoni membuat semua peserta berhenti beraktivitas untuk mendengarkan pesannya. Itu simbol kesinambungan perjuangan lintas generasi,” tutur Momo.

Suara yang Menolak Menyerah

Momo menggambarkan pengalamannya di hutan Amazon sebagai salah satu momen paling berkesan dalam hidupnya.

Bisa merasakan tanah yang dipijak, udara hutan yang kita perjuangkan, dan mendengar suara sungai yang mengalir – semua itu nyata. Ini membuat kami semakin semangat berjuang,” ungkapnya.

Bagi para aktivis muda, konsolidasi ini menjadi pengingat bahwa perjuangan iklim tidak hanya soal angka emisi atau miliaran dolar, tetapi tentang manusia dan alam yang saling bergantung satu sama lain.

Dengan semangat lintas benua yang tumbuh di jantung hutan Amazon, suara anak muda Asia dan Amerika Latin kini siap menggema lantang di panggung COP 30.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *