Seminar Literasi Sejarah Indonesia Dorong Penguatan Identitas di Era Digital

Matarakyat24.com, Lebak – Kementerian Kebudayaan kembali menggelar kegiatan strategis bertajuk Literasi Sejarah Indonesia, yang berlangsung di Kabupaten Lebak, Selasa (18/11). Kegiatan ini menghadirkan berbagai pemangku kepentingan, mulai dari anggota DPR, akademisi, hingga para pegiat dan pendidik sejarah. Di tengah tantangan derasnya arus informasi digital, seminar ini menjadi ruang penting untuk merefleksikan ulang bagaimana generasi muda memahami sejarah bangsanya.

 

Acara dibuka oleh H. Ali Zamroni, S.Sos., M.A.P., Anggota Komisi X DPR RI, yang menegaskan bahwa bangsa yang besar bukan hanya ditopang oleh kemajuan teknologi, tetapi juga oleh kekuatan memori kolektif atas sejarahnya. Dalam sambutannya, ia mengingatkan bahwa sebagian besar pelajar kini mengenal sejarah dari media sosial, bukan dari sumber-sumber kredibel. Fenomena ini terlihat juga di Banten yang mengalami penurunan kunjungan ke museum dalam tiga tahun terakhir.

 

Ali Zamroni menyoroti tantangan utama di era digital: maraknya narasi sejarah yang terdistorsi. Menurutnya, sejarah Kesultanan Banten yang sarat nilai toleransi dan kemajuan ekonomi seringkali dipersempit sebatas konflik kekuasaan. “Tanpa literasi sejarah yang kuat, generasi muda mudah terjebak pada narasi yang tidak utuh,” ujarnya. Ia mendorong pemanfaatan teknologi untuk menggali arsip-arsip sejarah yang telah didigitalisasi, sembari menanamkan kemampuan berpikir kritis agar anak muda dapat memilah fakta dan opini.

 

Semangat yang sama juga disampaikan oleh Wawan Yogaswara, M.Hum., Sekretaris Direktorat Jenderal Pelindungan Kebudayaan dan Tradisi. Ia menegaskan bahwa Indonesia memiliki ribuan situs sejarah dan ratusan bahasa daerah, namun apresiasi masyarakat terhadap sejarah masih rendah. Data internal menunjukkan hanya 45% generasi muda Banten yang pernah mengunjungi situs-situs bersejarah di daerahnya sendiri.

 

Dalam paparannya, Wawan menekankan perlunya pendekatan baru dalam pendidikan sejarah. Digitalisasi aset budaya, tur virtual, hingga aplikasi berbasis augmented reality dinilai mampu mendekatkan generasi muda dengan warisan masa lalu. Namun, ia juga mengingatkan risiko paparan narasi palsu dan propaganda sejarah yang semakin marak di media sosial. “Literasi digital harus berjalan berdampingan dengan literasi sejarah,” tegasnya.

 

Wawan juga menggarisbawahi pentingnya keterlibatan masyarakat lokal dalam merawat tradisi dan situs budaya. Penurunan minat generasi Z terhadap seni tradisi lokal hingga 28% dalam lima tahun terakhir menjadi alarm bagi pelestarian budaya Banten. Ia mendorong kolaborasi lintas sektor—pemerintah, komunitas, akademisi, dan kreator digital—untuk menghadirkan sejarah secara lebih menarik melalui storytelling, konten kreatif, hingga revitalisasi kawasan bersejarah.

 

Sesi berikutnya diisi oleh akademisi Agil Zulfikar, yang menekankan bahwa sejarah bukan sekadar catatan masa lalu, tetapi cermin untuk memahami arah bangsa. Ia memaparkan bahwa masih banyak anak muda Banten yang kurang mengenal tokoh lokal seperti Sultan Ageng Tirtayasa dan Syekh Nawawi al-Bantani. Survei kampus di Serang dan Cilegon menunjukkan lebih dari 60% mahasiswa tidak mampu menyebut lebih dari satu tokoh sejarah Banten.

 

Agil juga menyoroti bahaya hoaks sejarah yang kerap digunakan untuk memecah belah masyarakat. Ia mencontohkan bagaimana narasi sempit tentang identitas atau sejarah digunakan untuk menyulut polarisasi. “Literasi sejarah adalah benteng menghadapi provokasi,” katanya. Menurutnya, sejarah harus dihadirkan dengan cara kreatif: komik digital, dokumenter pendek, hingga peta interaktif yang menggabungkan data sejarah dengan visual yang menarik.

 

Tidak hanya soal identitas, Agil menekankan bahwa literasi sejarah juga berdampak pada pembangunan. Situs bersejarah seperti Banten Lama, Masjid Agung Banten, atau Keraton Kaibon dapat mendorong ekonomi kreatif jika dikelola dengan baik. Ia mengajak generasi muda Banten untuk melihat sejarah sebagai peluang, bukan beban pelajaran.

 

Acara yang berlangsung dengan interaktif ini menjadi momentum penting untuk memperkuat kecintaan masyarakat terhadap sejarah Indonesia, terutama sejarah lokal Banten yang kaya nilai budaya dan peradaban. Para narasumber sepakat bahwa sejarah harus disampaikan secara lebih relevan, kontekstual, dan mudah diakses melalui teknologi digital.

 

Dengan semangat kolaborasi, kegiatan ini menegaskan bahwa literasi sejarah bukan hanya upaya mengenang masa lalu, tetapi juga investasi untuk masa depan bangsa. Di tengah perubahan zaman yang cepat, memahami akar sejarah menjadi kunci membangun identitas yang kuat, toleran, dan berdaya saing.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *