Komunikasi Publik Menguatkan Gerakan Makan Bergizi di Era Digital

Matarakyat24.com, Jakarta – Dalam upaya membangun generasi emas Indonesia 2045, pemerintah terus menggencarkan Gerakan Makan Bergizi sebagai bagian dari peningkatan kualitas sumber daya manusia. Namun, di balik program yang sarat nilai kesehatan ini, tersimpan tantangan besar: bagaimana memastikan pesan tentang pentingnya gizi seimbang benar-benar sampai dan dipahami oleh masyarakat. Hal inilah yang menjadi fokus utama dalam Forum Diskusi Publik bertema “Komunikasi Publik untuk Gerakan Makan Bergizi: Menguatkan Kesadaran Melalui Media Digital” yang digelar pada Jumat, 24 Oktober 2025.

 

Anggota Komisi I DPR RI, Elnino M. Husein Mohi, membuka diskusi dengan menegaskan bahwa komunikasi publik memegang peranan penting dalam keberhasilan setiap program pemerintah. “Tantangan terbesar kita bukan lagi ketersediaan informasi, tetapi bagaimana masyarakat memaknai informasi yang beredar,” ujarnya. Di era ketika lebih dari 220 juta warga Indonesia telah terhubung dengan internet, derasnya arus informasi justru berpotensi memunculkan disinformasi, termasuk hoaks seputar pola makan dan klaim gizi yang tidak ilmiah. Karena itu, menurutnya, strategi komunikasi publik harus diarahkan bukan hanya untuk menyebarkan pesan, tetapi juga meningkatkan literasi digital dan kemampuan masyarakat dalam memilah informasi.

 

Elnino juga menyoroti perlunya pendekatan kreatif dalam menyampaikan pesan gizi di ruang digital. Ia menilai bahwa konten kampanye pemerintah sering kali kalah menarik dibandingkan dengan konten hiburan yang beredar di media sosial. “Pesan bergizi tidak bisa disampaikan dengan cara yang kaku. Harus inspiratif, visual, dan menyesuaikan karakter generasi muda,” tegasnya. Ia mendorong kolaborasi lintas sektor — mulai dari pemerintah, akademisi, komunitas, hingga influencer — untuk bersama-sama memperkuat narasi “Makan Bergizi Itu Keren”.

 

Pandangan serupa disampaikan oleh Dr. Ir. Indah Murtiana Sari, Rektor Universitas Sains Indonesia. Ia menegaskan bahwa komunikasi publik tidak hanya soal penyampaian pesan, melainkan juga soal membangun kepercayaan publik. “Gerakan makan bergizi tidak akan kuat jika hanya bergantung pada kebijakan pemerintah. Ia harus tumbuh dalam kesadaran masyarakat,” ujarnya.

 

Menurutnya, komunikasi yang efektif harus memenuhi tiga prinsip utama: relevansi, keterjangkauan, dan partisipasi. Pesan harus disesuaikan dengan konteks sosial dan budaya setempat, disampaikan melalui media yang mudah diakses, dan melibatkan masyarakat secara aktif. Ia juga menekankan pentingnya storytelling dalam komunikasi publik. “Kisah nyata tentang ibu yang berhasil memperbaiki gizi anaknya jauh lebih membekas dibanding data statistik semata,” tambahnya.

 

Sementara itu, Muhammad Amin, pegiat literasi digital, menyoroti pentingnya literasi digital dalam memperkuat gerakan makan bergizi. Ia menilai bahwa komunikasi publik yang baik harus berpijak pada kemampuan masyarakat dalam menyaring informasi di dunia maya. “Jika makan bergizi menyehatkan tubuh, maka literasi digital menyehatkan pikiran,” ujarnya.

 

Amin menambahkan bahwa ruang digital Indonesia masih menghadapi tantangan besar berupa maraknya hoaks kesehatan. Berdasarkan data Kominfo, lebih dari 11.000 kasus hoaks terdeteksi sepanjang tahun 2024, termasuk isu tentang program makan bergizi. Karena itu, ia menekankan pentingnya nilai-nilai literasi positif seperti berpikir kritis, etis, kreatif, dan kolaboratif dalam setiap strategi komunikasi publik.

 

Diskusi juga menyoroti kesenjangan literasi digital dan akses informasi di berbagai daerah. Di perkotaan, masyarakat mudah memperoleh informasi gizi melalui media sosial, sementara di pedesaan, keterbatasan jaringan dan edukasi masih menjadi kendala. Untuk itu, komunikasi digital harus dilengkapi dengan pendekatan langsung di lapangan, seperti melalui sekolah, posyandu, dan lembaga keagamaan.

 

Forum ini menegaskan bahwa gerakan makan bergizi tidak cukup hanya disosialisasikan, tetapi harus dihidupkan sebagai budaya kolektif. Keberhasilan komunikasi publik terletak pada kemampuannya menginspirasi masyarakat untuk berpartisipasi aktif, bukan sekadar menjadi penonton.

 

Pada akhirnya, seperti disimpulkan para narasumber, makan bergizi bukan hanya urusan dapur, melainkan juga urusan masa depan bangsa. Ketika komunikasi publik dijalankan secara transparan, kreatif, dan kolaboratif, serta didukung oleh literasi digital yang kuat, maka pesan gizi sehat tidak hanya berhenti di layar gawai — tetapi hadir di setiap meja makan keluarga Indonesia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *