Amankan Diri dan Sesama di Ruang Digital: Literasi, Etika, dan Keamanan Siber Jadi Kunci Ketahanan Bangsa

Jakarta, 24 Oktober 2025 — Forum Diskusi Publik bertema “Amankan Diri dan Sesama di Ruang Digital” yang digelar pada Jumat, 24 Oktober 2025, menghadirkan tiga narasumber utama: Ir. H. M. Endipat Wijaya, M.M. (Anggota Komisi I DPR RI), Gun Gun Siswadi (Praktisi Komunikasi), dan Didi, S.E., M.Ak., CA., AWM., Cert.IFR., CRMO., AWP. (Pegiat Literasi Digital).

Kegiatan ini menjadi ruang refleksi penting tentang bagaimana masyarakat Indonesia dapat membangun budaya digital yang aman, beretika, dan berkeadaban di tengah derasnya arus informasi global.

 

Dalam paparannya, Ir. H. M. Endipat Wijaya menegaskan bahwa ruang digital kini telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sosial, ekonomi, dan politik bangsa. Dengan jumlah pengguna internet di Indonesia mencapai lebih dari 221 juta jiwa (APJII, 2024), dunia maya telah menjadi cermin dari kualitas demokrasi dan keamanan nasional.

 

Namun, di balik kemajuan itu, terdapat ancaman besar yang tidak bisa diabaikan. Sepanjang tahun 2023, Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) mencatat lebih dari 400 juta serangan siber yang menargetkan berbagai sektor strategis. Selain itu, maraknya perdagangan data pribadi dan penyebaran disinformasi semakin memperburuk kondisi keamanan digital nasional.

 

“Keamanan di ruang digital bukan hanya urusan teknologi, tetapi juga soal tanggung jawab moral,” tegas Endipat. Ia menekankan pentingnya literasi digital sebagai benteng utama untuk menciptakan ruang maya yang aman dan beradab. Literasi ini bukan hanya tentang kemampuan menggunakan teknologi, tetapi juga kesadaran akan etika, empati, dan tanggung jawab sosial dalam berinteraksi secara daring.

 

Sementara itu, Gun Gun Siswadi, seorang praktisi komunikasi, memaparkan bahwa tantangan utama di dunia digital saat ini bukan hanya cyber crime, melainkan juga cyber behavior — perilaku komunikasi masyarakat di media sosial.

Fenomena banjir informasi dan kemunculan teknologi manipulatif seperti deepfake menjadi tantangan besar bagi masyarakat yang belum memiliki literasi digital yang kuat.

 

“Setiap orang kini bisa menjadi penerbit. Tapi tidak semua memahami tanggung jawab atas pesan yang disebarkan,” ujarnya. Ia mengingatkan bahwa hoaks, ujaran kebencian, dan polarisasi sosial muncul karena rendahnya kemampuan berpikir kritis dan kurangnya empati dalam berkomunikasi daring.

 

Gun Gun menekankan empat aspek literasi digital yang wajib dikembangkan: berpikir kritis, kreatif, kolaboratif, dan komunikatif. Masyarakat perlu memahami cara mengenali sumber informasi kredibel, melaporkan konten negatif, serta menjaga etika dan kesantunan digital agar ruang maya tetap sehat.

 

Sementara itu, Didi, S.E., M.Ak., pegiat literasi digital, menyoroti pentingnya kesadaran masyarakat terhadap keamanan data pribadi dan jejak digital. Menurutnya, dunia digital adalah ruang yang tak pernah tidur—setiap detik jutaan interaksi terjadi, mulai dari transaksi daring hingga berbagi konten pribadi.

 

Data dari Bareskrim Polri menunjukkan bahwa kasus kejahatan siber di Indonesia meningkat drastis, dari 8.636 kasus pada tahun 2022 menjadi 13.913 kasus pada 2024. Jenis kejahatan yang paling banyak dilaporkan adalah penipuan daring dan pencurian data pribadi.

 

“Keamanan digital dimulai dari diri sendiri,” tegas Didi. Ia mengingatkan masyarakat untuk melakukan langkah sederhana seperti mengganti kata sandi secara berkala, menggunakan autentikasi dua faktor, menghindari Wi-Fi publik, dan berhati-hati terhadap tautan mencurigakan.

Selain itu, ia juga menyoroti fenomena sharenting—kebiasaan orang tua membagikan foto anak di media sosial—yang dapat membahayakan privasi dan keamanan anak di masa depan.

 

Ketiga narasumber sepakat bahwa menjaga ruang digital bukan hanya tugas pemerintah, tetapi juga tanggung jawab kolektif seluruh masyarakat. Kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, akademisi, media, dan masyarakat sipil sangat diperlukan untuk memperkuat ketahanan siber dan etika digital nasional.

 

Ruang digital yang aman dan berkeadaban, menurut para narasumber, hanya bisa tercipta melalui budaya saling menjaga — sebuah sikap yang mengedepankan gotong royong, empati, dan tanggung jawab sosial. “Mengamankan diri berarti juga mengamankan sesama,” ujar Endipat dalam penutupannya.

 

Forum ini menegaskan satu pesan penting: literasi digital bukan sekadar keterampilan, tetapi juga perisai moral bangsa. Jika masyarakat mampu menggunakan teknologi dengan bijak, etis, dan berempati, maka ruang digital Indonesia akan menjadi tempat yang aman, produktif, dan manusiawi — bagi semua generasi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *