Matarakyat24.com, Jakarta – Suasana ruang diskusi di Jakarta pada Kamis, 23 Oktober 2025, terasa hangat meski topik yang dibahas sangat serius: bagaimana menyiapkan generasi muda Indonesia agar benar-benar siap menyongsong tahun emas 2045. Forum Diskusi Publik bertajuk “Membangun Generasi Emas dengan Makan Bergizi Gratis” itu menghadirkan berbagai narasumber dari kalangan legislatif, akademisi, hingga praktisi komunikasi.
Dalam forum tersebut, Ir. H. M. Endipat Wijaya, M.M., Anggota Komisi I DPR RI, menegaskan bahwa membangun generasi emas bukan hanya persoalan pendidikan dan teknologi, melainkan juga tentang pemenuhan gizi sejak dini. “Tanpa tubuh yang sehat dan otak yang berkembang optimal, semua program pendidikan akan sulit mencapai hasil maksimal,” ujarnya.
Endipat mengungkapkan bahwa program Makan Bergizi Gratis (MBG) merupakan investasi jangka panjang bangsa terhadap kualitas manusia Indonesia. Ia menyoroti fakta bahwa sekitar 21,5% anak Indonesia masih mengalami stunting pada 2024, dan angka ini masih jauh dari target nasional 14% pada 2025. “Masalah stunting bukan hanya soal tinggi badan, tapi juga daya pikir dan produktivitas di masa depan,” tambahnya.
Menurutnya, keberhasilan program MBG tidak hanya diukur dari berapa banyak anak yang menerima makanan, tetapi juga dari perubahan perilaku gizi masyarakat. Pemerintah, kata dia, perlu melibatkan guru, tenaga kesehatan, hingga kader posyandu dan PKK untuk mengedukasi keluarga tentang pola makan sehat.
Selain aspek gizi, Endipat juga menyoroti pentingnya transparansi anggaran dan pengawasan publik. Dengan estimasi biaya mencapai Rp100 triliun per tahun, sistem digitalisasi data penerima manfaat dan pengawasan berbasis komunitas dinilai sangat penting. “Program ini harus bukan hanya berkelanjutan secara fiskal, tapi juga akuntabel dan berpihak kepada rakyat,” ujarnya.
Sementara itu, Usman Kansong, seorang praktisi komunikasi, menekankan pentingnya komunikasi publik yang efektif dalam menyukseskan program nasional ini. Menurutnya, MBG bukan sekadar kebijakan pangan, tetapi narasi besar tentang komitmen negara dalam melahirkan generasi sehat dan cerdas. “Keberhasilan program sebesar ini tidak hanya ditentukan oleh pelaksanaannya, tetapi juga oleh seberapa baik ia dikomunikasikan kepada masyarakat,” tuturnya.
Usman menambahkan bahwa komunikasi publik MBG harus bersifat kontekstual dan empatik, menyesuaikan dengan kondisi sosial masyarakat. Ia mencontohkan bagaimana negara lain seperti Amerika Serikat dan India berhasil menjalankan program serupa dengan mengedepankan partisipasi komunitas dan edukasi gizi.
“Setiap piring makanan seharusnya menjadi sarana komunikasi nilai—tentang pola makan sehat, rasa syukur, dan kebersamaan sosial,” ujarnya.
Dari sisi akademisi, Yanto, Ph.D., Wakil Dekan Fakultas Teknik Unika Atmajaya, memandang program MBG sebagai strategi besar pembangunan manusia. Ia menjelaskan bahwa stunting adalah persoalan multidimensi yang berpengaruh langsung pada daya saing bangsa. “Anak yang mengalami stunting memiliki risiko lebih besar terhadap rendahnya kemampuan belajar dan produktivitas ekonomi,” jelasnya.
Yanto mengingatkan bahwa keberhasilan MBG bergantung pada kolaborasi lintas sektor dan pengawasan ketat. Pemerintah telah menyiapkan anggaran awal Rp71 triliun hingga pertengahan 2025, dan jumlah tersebut diproyeksikan meningkat hingga Rp420 triliun per tahun untuk cakupan nasional. Karena itu, menurutnya, digitalisasi sistem dan keterlibatan masyarakat lokal menjadi kunci agar program berjalan transparan dan tepat sasaran.
Selain itu, Yanto menilai bahwa MBG tidak hanya berdampak pada gizi anak-anak, tetapi juga pada ketahanan pangan dan ekonomi lokal. Dengan melibatkan petani, nelayan, dan UMKM sekitar sekolah, program ini dapat mendorong ekonomi rakyat sekaligus memastikan ketersediaan bahan pangan bergizi. “Ini adalah contoh nyata pembangunan manusia yang berpihak pada rakyat,” ujarnya.
Para narasumber sepakat bahwa Makan Bergizi Gratis bukan sekadar program bantuan sosial, melainkan gerakan peradaban yang menegaskan peran negara sebagai pelindung generasi muda. Mereka menekankan bahwa pendidikan dan gizi adalah dua hal yang tak terpisahkan dalam membangun masa depan bangsa.
Forum tersebut ditutup dengan pesan penting: membangun Indonesia Emas 2045 dimulai dari hal sederhana—memastikan tidak ada anak Indonesia yang belajar dalam keadaan lapar. Dengan tubuh sehat, pikiran cerdas, dan karakter gotong royong, generasi muda hari ini akan menjadi fondasi kuat bagi Indonesia yang lebih maju dan berkeadilan di masa depan.












