Oleh : M. Yuda Okta Fikri
matarakyat24.com – 15 September 2025 – Salah satu janji terbesar Reformasi 1998 adalah menegakkan konstitusi dan hukum sebagai panglima tertinggi. UUD 1945 diamandemen untuk menutup celah otoritarianisme, membatasi kekuasaan presiden, memperkuat parlemen, serta menegakkan prinsip rule of law. Harapannya, bangsa ini benar-benar memasuki era baru: demokrasi konstitusional.
Namun, lebih dari dua dekade berlalu, kita justru menghadapi krisis yang paling serius: konstitusi sering diperlakukan bukan sebagai norma tertinggi yang mengikat semua pihak, melainkan sebagai dokumen lentur yang bisa disesuaikan dengan selera elite.
Berbagai peristiwa menjadi bukti nyata. Putusan Mahkamah Konstitusi yang kontroversial, revisi undang-undang yang melemahkan semangat pemberantasan korupsi, hingga fleksibilitas hukum pemilu demi akomodasi politik jangka pendek, semuanya memperlihatkan rapuhnya penghormatan terhadap konstitusi. Hukum lebih sering tampil sebagai instrumen legitimasi kekuasaan, bukan sebagai penjamin keadilan.
Inilah akar luka bangsa. Ketika konstitusi tidak lagi dipandang sebagai rujukan moral dan hukum, efek domino pun lahir:
-
Demokrasi yang seharusnya substansial berubah menjadi transaksional.
-
Lembaga negara kehilangan marwah check and balance.
-
Otonomi daerah tersandera kepentingan pusat.
-
Rakyat makin kehilangan kepercayaan pada hukum yang tajam ke bawah, tumpul ke atas.
Konstitusi sejatinya adalah kontrak sosial yang menjamin keadilan, kebebasan, dan martabat rakyat. Sayangnya, kini ia lebih sering diposisikan hanya sebagai dokumen prosedural yang bisa dikompromikan sesuai kebutuhan politik sesaat.
Di sinilah tantangan besar kita sebagai bangsa: menyelamatkan konstitusi dari manipulasi kekuasaan. Selama supremasi konstitusi tidak ditegakkan, cita-cita luhur untuk melindungi segenap bangsa, mencerdaskan kehidupan, serta menyejahterakan rakyat hanya akan tinggal slogan kosong—indah di atas kertas, tetapi tak pernah menjejak di bumi nyata.